Pesawat Cureng tergolong pesawat kecil
bermesin tunggal bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain
dengan dua tempat duduk (depan belakang). Copit tanpa kanopi penutup
atas sehingga bagian kepala dan dada penerbang kelihatan jelas dari
luar. Menggunakan motor radial dingin angin “Teppo” dengan
kekuatan 350 dayakuda, pesawat ini memiliki kecepatan jelajah 157 km/h
dan kecepatan mendarat 92,6 km/h. Pencapai terbang sejauh 708 km
dengan batas ketinggian praktis 4000 m dengan lama terbang 4½ jam.
Nama cureng merupakan nama lokal
Indonesia, dalam bahasa Jepang pesawat buatan pabrik Nippon Hikoki KK
tahun 1933 ini dikenal dengan sebutan Yokusuka K5Y (Shinsitei). Sedangkan pihak Serikat menyebutnya dengan “Willow”. Dalam Perang Pasifik, pesawat ini dijuluki dengan “Red Dragonfly”
(Si Capung Merah). Sejak berlangsungnya perang Cina – Jepang sampai
tahun berakhirnya perang Pasifik telah diproduksi sebanyak 5.591 buah
pesawat. Beberapa buah diantaranya digunakan untuk sebagai pasukan
penyerang “kamikaze
Dimasa pendudukan Jepang, pesawat Cureng tergabung dalam kesatuan Kaigun Koku Butai
(Angkatan Laut Jepang). Pesawat ini didatangkan ke Indonesia dalam
jumlah relatif banyak dengan tujuan untuk memindahkan pelatihan
calon penerbangnya ke Indonesia.
Cureng ini merupakan pesawat peninggalan
Jepang yang paling banyak dibandingkan dengan pesawat lainnnya. Di
Indonesia pesawat cureng ini ditemukan hanya di Pangkalan Udara Maguwo
Yogyakarta sebanyak 50 buah. Untuk memastikan kondisi pesawat tersebut
atas perintah Suryadi Suryadarma, didatangkan teknisi dari Pangkalan
Udara Andir Bandung. Di Pangkalan Udara Maguwo waktu itu tidak ada
teknisi pesawat. Dua orang dari beberapa teknisi dari Bandung tersebut
adalah Basir Surya dan Tjarmadi.
Dari hasil pemeriksaan secara umum semua
pesawat tersebut dinyatakan dalam keadaan rusak, kecuali tiga yang
masih dalam keadaan lengkap walaupun dalam keadaan rusak ringan. Ketiga
pesawat Cureng ini merupakan pesawat yang siap terbang namun batal
karena kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Suharto (mantan Presiden
RI). Waktu itu Suharto sempat taxi (memarkir pesawat) ketiga pesawat
tersebut setelah para penerbangnya yang orang Jepang ditawan dan PU
Maguwo berhasil direbut.
Hanya dalam waktu satu hari yakni tanggal 26 Oktober satu pesawat
Cureng dapat diperbaiki dan dinyatakan siap test flight setelah diberi
tanda berupa lingkaran berwarna merah putih sebagai simbol bendera RI
yang sekaligus menyatakan bahwa pesawat tersebut sudah menjadi milik
Republik Indonesia.
Test flight dilakukan tanggal 27 Oktober
1945 pukul 10.00 selama 30 menit oleh Agustinus Adisucipto yang
didampingi oleh Rujito. Dipilihnya Agustinus Adisucipto untuk test
flight ini karena ia satu-satunya waktu itu yang mempunyai wing
penerbang yaitu Groot Militaire Brevet. Namun wing penerbang yang
dimiliki adalah kualifikasi penerbang dengan pesawat Eropa, bukan
pesawat Jepang. Penerbangan ini tercatat sebagai penerbangan pesawat
beridentitas merah putih yang pertama di alam Indonesia merdeka oleh
pemuda Indonesia sendiri.
Setelah penerbangan pertama itu, para
teknisi terus bekerja memperbaiki pesawat – pesawat yang ada di Maguwo.
Pada awal Januari 1946, berhasil diperbaiki dan disiapkan 25 pesawat
lagi hingga siap terbang. Pesawat cureng tersebut kemudian menjadi
kekuatan Pangkalan Udara Maguwo yang sekaligus menjadi kekuatan Sekolah
Penerbangan yang dipimpin oleh Agustinus Adisucipto. Sekolah
Penerbangan itu dibuka pada tanggal 15 November 1945. Karena itu pesawat
cureng umumnya hanya diterbangkan oleh para kadet Sekbang. Para kadet
angkatan pertama sekolah penerbang ini tercatat 31 orang yaitu :
1. Husein Sastranegara, 2. H. Sujono, 3.
Sulitijo, 4. Imam Suwongso, 5. Sunaryo, 6. Sudaryono, 7. Tugijo
Kartosandjojo, 8. Murkidjo Tjokrohamiprodjo, 9. Prof. Dr. Abdulrachman
Saleh, 10. Santoso, 11. Makmur Soehodo, 12. Soedjono, 13. Sugoro, 14.
Sutardjo Sigit, 15. Soeharto, 16. Bambang Saptoadji, 17. Gusti Endeng,
18. Yuliarso, 19. A. Fatah, 20. Jusran, 21. RI. Mantiri, 22. Iswahjudi,
23. Mulyono, 24. Gunadi, 25. Arjono, 26. Suprapto, 27. Tarsono Roedjito,
28. Wim Prajitno, 29. Abimanyu, 30. Suharnoko Harbani, 31. Prajitno.
Dari 31 siswa tersebut beberapa
diantaranya berhasil menyelesaikan pendidikan dan dinyatakan sebagai
penerbang. Salah satunya adalah Prof. Abdulrachman Saleh yang kemudian
berperan juga sebagai instruktut pesawat Cureng bagi siswa penerbang
lainnya. Pesawat Cureng juga pernah digunakan oleh Abdulrachman ketika
pindahan dari Yogyakarta ke Maidun dalam rangka tugas ditempat yang baru
yaitu menjadi Komandan Lanud Maospati.
Kecelakaan pesawat tersebut ternyata
tidak membuat ciut nyali para penerbang muda waktu itu dan tidak
berkesimpulan bahwa pesawat jenis Cureng tersebut tidak layak terbang
malah menjadi tantangan bagi pelopor pendiri dan pejuang AURI untuk
terus mengabdi kepada bangsa dan negara yang baru berdiri. Dua hari
setelah kecelakaan tersebut (tanggal 16 Januari 1946), satu pesawat
Cureng diterbangkan oleh Suyono untuk melakukan tugas pengintaian di
Laut Selatan. Misi pengintaian menggunakan pesawat Cureng itu atas
perintah Agustinus Adisucipto. Pesawat Cureng take off dari
Pangkalan Udara Maguwo menuju Parangtritis, sampai jauh ke Selatan di
atas Lautan Hindia. Dalam penerbangan itu, pesawat sempat masuk awan
hitam tebal sehingga penerbanganya sampai kehilangan orientasi
(disorientasi). Peristiwa ini pun dicatat sebagai operasi penerbangan
pertama dalam rangka misi pertahanan di Indonesia merdeka. Peristiwa
itu diceritakan oleh penerbangnya pada Majalah Angkasa.
“Waktu itu tanggal 16 Djanuari 1946.
Aku terpaksa masuk dalam awan jang gelap. Satupun tidak ada lubang
tjelah2 awan jang dapat memberi harapan kearah udara terang. Kabut
demikian tebalnja, hingga tidak sesuatupun jang tampak. Sekilat
teringat aku sedikit teori2 terbang buta, tetapi apa, aku tidak
berpengalaman.
Kemudian terasa ….aku tak dapat meneruskan lagi. Mata kupejamkan, sembahyang singkat dan memohon kepada illahi. Terbajang anak dan istriku, ketika pamitan tadi, disesal dengan teriakan ketakutan. Aku djadi bingung, terdesak. Ja, sjukur! Achirnya ingat dan sadar, bahwa harus berani hidup bila harapan masih ada. Aku berusaha menenangkan semua instrument. Untunglah gojangnya itu makin berkurang, tetapi tenang tidak.
Untuk mengambil djurusan tertentu tidaklah mungkin , karena dalam pesawat sangat gelap akibat awan tebal membeku. Sekonjong-konjong aku tersembul dari awan jang memajahkan itu. Aku berada dalaam ketinggian 150 m. Hudjan mengutjur. Tidak tahu entah dimana aku berada.
Aku berusaha pulang kepangkalan. Check bensin tjukup untuk 20 menit. Mendjumpai banjak gunung ketjil dan kali, akan tetapi aku tidak dapat mengenalnja. Achirnja beruntung sebatang kali, sebagai ‘Reddend engel!’ dan dapat sadar tentang posisi hingga terus dapat menudju pulang.
Ketika turun dari atas landasan begitu pesawat mendjedjakkan kakinja di tanah begitu pula segera mesin mati. Sjukur! Sjukur! Aku kembali selamat. ….”
Sukses dengan fungsinya sebagai pesawat latih melahirkan beberapa orang penerbang, pesawat Cureng tercatat sebagai pesawat pertama yang digunakan dalam latihan terjun payung. Latihan terjun payung pertama ini dilaksanakan tanggal 11 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo atas perintah Suryadi Suryadarma selaku kepala TKR jawatan Penerbangan. Latihan terjun payung itu menggunakan 3 pesawat Cureng yang masing-masing diterbangkan oleh A. Adisucipto, Iswahjudi, dan Makmur Suhodo. Adapun para penerjunnya adalah Amir Hamzah, Legino dan Pungut. Satu pesawat untuk satu penerjun. Penerjunan ini merupakan peristiwa penting bagi TNI Angkatan Udara bahkan bagi TNI maupun bagi bangsa Indonesia bahwa inilah awal dari munculnya pasukan para TNI.
Kalau dibandingkan dengan penerjunan saat ini yang menggunakan pesawat angkut seperti Hercules, Fokker, dan CN-235 maka sulit dibayangkan terjun dengan menggunakan pesawat kecil dua seat yakni satu untuk penerbang dan satu untuk penerjun. Penerjun duduk di belakang penerbang (pilot). Setelah mencapai ketinggian yang telah ditentukan, secara perlahan dan hati-hati penerjun keluar dari cocpit dan berdiri di wing sambil berpegangan dan mundur secara perlahan kearah belakang wing. Setelah ada perintah “go” dari pilot maka penerjun terjun. Penerjunan pertama menggunakan pesawat cureng tersebut dinyatakan berhasil. Latihan terjun payung yang pertama ini disaksikan oleh Panglima Besar TKR Jenderal Sudirman dengan beberapa staf.
Pada tanggal 16 Maret 1946, sekali lagi H. Suyono menerbangkan pesawat Cureng, kali ini bertolak dari Pangkalan Udara Bugis Malang menuju Utara untuk menyebarkan pamflet di atas kota Sidoarjo. Dalam penerbangan itu ikut pula seorang montir pesawat, Sukarman
.
Selain melaksanakan latihan terbang solo, pesawat Cureng juga digunakan untuk latihan terbang formasi dan Cross Country (lintas daerah). Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat Cureng. Penerbangnya antara lain Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso, dan Wim Prayitno. Cross country ini merupakan terbang formasi dan lintas daerah yang pertama dilakukan oleh penerbang-penerbang Indonesia.
Tanggal 12 Mei 1946 kembali pesawat Cureng diterbangkan ke arah Timur dan mendarat di Lapangan Sekip (Pamekasan). Penerbangan yang dipiloti oleh Opsir Udara II Sujono dan OU III Wim Prajitno dengan misi memperbaiki lapangan udara tersebut sebagai persiapan guna penerbangan berikutnya. Ikut serta dalam penerbangan itu dua orang montir pesawat yakni Naim dan Dulatif. Dalam penerbangan kembali kedua pesawat terpaksa mendarat di Pangkalan Udara Bugis Malang karena mengalami kerusakan di bagian kaki rodanya.
Pada tanggal 21 Mei 1946 empat pesawat cureng mengudara menuju beberapa daerah di Jawa barat dan Jawa Timur. Dua pesawat Cureng menuju ke Serang Jawa barat. Cureng pertama diterbangkan oleh OU II Husein Sastranegara sebagai yang disertai H. Semaun dan pesawat kedua dipiloti oleh OU III Santoso disertai seorang penumpang bernama Soeharto. Sebuah pesawat Cureng menuju ke Malang dengan penerbang OU III Sunarjo yang disertai seorang penumpang Suparman. Sebuah pesawat terbang Cureng lainnya diterbangkan oleh OU II H. Sujono dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma dalam penerbangan kearah Timur untuk mencapai Pulau Madura dan mendarat di sebuah tempat pembuatan garam, karena belum adanya pangkalan udara yang siap untuk didarati. Setelah lima hari mengadakan perjalanan , pada tanggal 25 Mei 1946 keempat pesawat tersebut kembali ke Maguwo dengan selamat.
Kemudian pada tanggal 10 Juni 1946, pada saat pembukaan Lanud Tjibereum Tasikmalaya diterbangkan 5 pesawat Cureng dari Maguwo dengan crew sebagai berikut :
- Komodor A. Adisutjipto dan Husein Sastranegara
- Komodor Muda Udara dr. Abdurachman Saleh dan Tulus Martoatmodjo.
- Opsir Udara Sujono dan OMU Kaswan
- Opsir Udara Wirjosaputro dan Opsir Udara Sunarjo.
- Opsir Udara Iswahjudi dan Opsir Udara Suhodo.
Tanggal 8 Agustus 1946, sebuah pesawat Cureng diterbangkan dari PU Maguwo Yogyakarta ke PU Bugis Malang. Adapun misi penerbangan yang dipiloti oleh Tugio adalah mengantarkan AS. Hananjuddin atas panggilan Divisi VIII Malang Imam Supeno.
Pada tanggal 2 September 946 salah satu pesawat Cureng kembali mengalami kecelakaan dan ini adalah kecelakaan kedua pesawat Cureng setelah kejadian pertama pada tanggal 14 Januari 1946. Pesawat jatuh di Cipatujah (Tasikmalaya) sewaktu pesawat melakukan pendaratan darurat yang mengakibatkan gugurnya Opsir Udara II Tarsono Rudjito. Opsir Udara II Tarsono merupakan korban pertama akibat kecelakaan pesawat militer di Indonesi Merdeka. Dalam rangka tabur bunga atas meninggalnya Tarsono, pada tanggal 13 September 1946, sebuah pesawat Cureng yang lain diterbangkan untuk melaksanakan tabur bunga dari udara yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara.[11]
Pada tanggal 29 Juli 1947, digunakan untuk menyerang kedudukan musuh (Belanda) di kota Ambarawa dan Salatiga. Pesawat Cureng diterbangkan oleh Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutardjo Sigit. Pesawat Cureng juga digunakan oleh Kadet Udara I Aryono untuk membom Purwodadi dalam rangka Penumpasan PKI atas permintaan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto. Pada tahun 1948 saat meletusnya pemberontakan PKI Muso di Madiun pesawat ini digunakan untuk penyebaran pamflet, drooping obat-obatan dan logistik bagi pasukan ABRI yang berada di daerah terpencil.
Curen dengan identitas merah putih berbentuk bulan dan nomor registrasi 62 serta TJ di ekor pesawat
Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam buah pesawat jenis Nishikoreng , Cukiu dan Cureng menuju pangkalan Udara Cibeureum Tasikmalaya. Kemudian melanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda Banten. Di Gorda terpaksa sebuah pesawat Cureng ditinggalkan karena mengalami kerusakan mesin. Keesokan harinya dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung. Kelima pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda. Di Gorda ditinggalkan lagi sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin. Dalam perjalanan pulang ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.
Salah satu pesawat Cureng bersama pesawat Cukiu dan Nishikoreng yang ada di Pangkalan Bugis Malang dikirim ke Pangkalan Udara Panasan. Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan Pangkalan H. Sujono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14 orang tenaga teknik. Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta Api. Tiba di Solo, ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil diperbaiki pada bulan September 1946. Namun belum ada kelanjutannya setelah perbaikan pesawat Cureng tersebut.
.
1 komentar:
luar biasa TNI AU
Posting Komentar