PESAWAT CURENG

Pesawat Cureng tergolong pesawat kecil bermesin tunggal bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan dua tempat duduk (depan belakang).

MUSEUM PUSAT TNI AU DIRGANTARA MANDALA

Tonggak dasar dalam mendirikan museum di lingkungan TNI AU adalah dengan dikeluarnya Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Udara Nomor : 491 Tanggal 6 Agustus 1960 tentang Dokumentasi, Sejarah dan Museum Angkatan Udara Republik Indonesia,

Pembukaan Dikkualsus Ba Farm Angkatan ke-1 2010

Pembukaan Kursus Bintara Kefarmasian Angkatan ke-1 tahun 2010 dibuka oleh Kepala Dinas Kesehatan Angkatan Udara Marsma TNI dr. M.F. Mulyono, Sp.THT yang diselenggarakan di Lafiau Roostyan Effendie pada tanggal 6 Oktober 2010

TNI AU Garda Terdepan Perangi Narkoba

Kepala Lembaga Farmasi Angkatan Udara (Kalafiau) Kolonel Kes Drs. Ari Yulianto, M.Si., Apt. mengingatkan agar seluruh anggota TNI Angkatan Udara untuk bersama-sama menjauhi narkoba dan memberantas tindak penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif.

CERAMAH NARKOBA DI LANUD ABD SALEH

Seluruh anggota Lanud Abd Saleh beserta insub berkumpul di hanggar Skadron Udara 32 untuk mengikuti ceramah tentang Narkoba yang disampaikan oleh Kolonel Kes Dr. Ari Yulianto, Kepala Lembaga Formasi TNI AU.

Senin, 28 Januari 2013

PESAWAT CURENG





Pesawat Cureng  tergolong pesawat kecil bermesin tunggal bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan  dua tempat duduk (depan belakang). Copit  tanpa kanopi penutup atas sehingga bagian kepala dan dada penerbang kelihatan jelas dari luar.  Menggunakan motor radial dingin angin “Teppo” dengan kekuatan 350 dayakuda, pesawat ini memiliki kecepatan jelajah 157 km/h dan  kecepatan mendarat 92,6 km/h.  Pencapai terbang sejauh 708 km dengan  batas ketinggian praktis 4000 m dengan lama terbang 4½ jam. 
Nama cureng merupakan nama lokal Indonesia, dalam bahasa Jepang  pesawat buatan pabrik Nippon Hikoki KK tahun 1933 ini dikenal dengan sebutan Yokusuka K5Y (Shinsitei). Sedangkan pihak Serikat menyebutnya dengan “Willow”. Dalam Perang Pasifik, pesawat ini dijuluki  dengan   “Red Dragonfly” (Si Capung Merah).  Sejak berlangsungnya perang Cina – Jepang sampai tahun berakhirnya perang Pasifik telah diproduksi sebanyak 5.591 buah pesawat. Beberapa buah diantaranya digunakan untuk sebagai pasukan penyerang “kamikaze

Dimasa pendudukan Jepang, pesawat Cureng tergabung dalam kesatuan Kaigun Koku Butai (Angkatan Laut Jepang). Pesawat ini didatangkan ke Indonesia dalam jumlah relatif banyak dengan tujuan  untuk   memindahkan pelatihan  calon penerbangnya ke Indonesia. 
Cureng ini merupakan pesawat peninggalan Jepang yang paling banyak dibandingkan dengan pesawat lainnnya.   Di Indonesia pesawat cureng ini ditemukan hanya di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta sebanyak 50 buah.  Untuk memastikan kondisi pesawat tersebut atas perintah Suryadi Suryadarma, didatangkan teknisi dari Pangkalan Udara Andir Bandung.  Di Pangkalan Udara Maguwo waktu itu tidak ada teknisi pesawat.  Dua orang dari beberapa teknisi dari Bandung tersebut  adalah Basir Surya dan Tjarmadi.

Dari hasil pemeriksaan secara umum semua pesawat tersebut dinyatakan dalam keadaan rusak,  kecuali tiga yang masih dalam keadaan lengkap walaupun dalam keadaan rusak ringan.  Ketiga pesawat Cureng ini merupakan pesawat yang siap terbang namun batal karena kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Suharto (mantan Presiden RI).   Waktu itu Suharto sempat taxi (memarkir pesawat) ketiga pesawat tersebut setelah para penerbangnya yang orang Jepang ditawan dan PU Maguwo berhasil direbut. Hanya dalam waktu satu hari yakni tanggal 26 Oktober satu pesawat Cureng dapat diperbaiki dan dinyatakan siap test flight setelah diberi tanda berupa lingkaran berwarna merah putih sebagai simbol bendera RI yang sekaligus menyatakan bahwa pesawat tersebut sudah menjadi milik Republik Indonesia.

Test flight dilakukan tanggal 27 Oktober 1945 pukul 10.00 selama 30 menit oleh Agustinus Adisucipto yang didampingi oleh Rujito. Dipilihnya Agustinus Adisucipto untuk test flight ini karena ia satu-satunya waktu itu yang mempunyai wing penerbang yaitu Groot Militaire  Brevet.   Namun wing penerbang yang dimiliki adalah kualifikasi penerbang dengan pesawat Eropa, bukan pesawat Jepang.  Penerbangan ini tercatat sebagai penerbangan pesawat  beridentitas merah putih yang pertama di alam Indonesia merdeka oleh pemuda Indonesia sendiri.
Setelah penerbangan pertama itu, para teknisi terus bekerja memperbaiki pesawat – pesawat  yang ada di Maguwo. Pada awal Januari 1946, berhasil diperbaiki dan disiapkan  25 pesawat lagi hingga siap terbang. Pesawat cureng tersebut kemudian menjadi kekuatan Pangkalan  Udara Maguwo yang sekaligus menjadi kekuatan Sekolah Penerbangan yang dipimpin oleh Agustinus Adisucipto.  Sekolah Penerbangan itu dibuka pada tanggal 15 November 1945. Karena itu pesawat cureng umumnya hanya diterbangkan oleh para kadet Sekbang.  Para kadet angkatan pertama sekolah penerbang ini tercatat 31 orang yaitu :

1. Husein Sastranegara, 2. H. Sujono, 3. Sulitijo, 4. Imam Suwongso, 5. Sunaryo, 6. Sudaryono, 7. Tugijo Kartosandjojo, 8. Murkidjo Tjokrohamiprodjo, 9. Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, 10. Santoso, 11. Makmur Soehodo, 12. Soedjono, 13. Sugoro, 14. Sutardjo Sigit, 15. Soeharto, 16. Bambang Saptoadji, 17. Gusti Endeng, 18. Yuliarso, 19. A. Fatah, 20. Jusran, 21. RI. Mantiri, 22. Iswahjudi, 23. Mulyono, 24. Gunadi, 25. Arjono, 26. Suprapto, 27. Tarsono Roedjito, 28. Wim Prajitno, 29. Abimanyu, 30. Suharnoko Harbani, 31. Prajitno.

Dari 31 siswa tersebut beberapa diantaranya berhasil menyelesaikan pendidikan dan dinyatakan sebagai penerbang.  Salah satunya adalah Prof. Abdulrachman Saleh yang kemudian berperan juga sebagai  instruktut pesawat Cureng bagi siswa penerbang lainnya.  Pesawat Cureng juga pernah digunakan oleh Abdulrachman ketika pindahan dari Yogyakarta ke Maidun dalam rangka tugas ditempat yang baru yaitu menjadi Komandan Lanud Maospati.

Tanggal 14 Januari 1946 salah satu pesawat cureng mengudara dari Pangkalan Udara Maguwo.  Namun naas pesawat Cureng tersebut mengalami kecelakaan. Waktu itu pesawat  diterbangkan oleh Iswahjudi dan Wiriadinata sebagai penumpang.   Kedua orang yang berada dalam penerbangan itu selamat.  Peristiwa ini merupakan kecelakaan pesawat cureng pertama  yang sekaligus merupakan kecelakaan pesawat pertama di alam Indonesia merdeka.  Benar juga apa yang dikatakan oleh para penerbang Royal Air Force (RAF) yang pernah datang ke Yogyakarta.  Para penerbang itu mengatakan “You are flying Coffin” (Tuan menerbangkan sebuah peti mati).

Kecelakaan pesawat tersebut ternyata tidak membuat ciut  nyali para penerbang muda waktu itu dan tidak berkesimpulan bahwa pesawat jenis Cureng tersebut tidak layak terbang malah menjadi tantangan bagi pelopor pendiri dan pejuang AURI untuk terus mengabdi kepada bangsa dan negara yang baru berdiri.  Dua hari setelah kecelakaan tersebut (tanggal 16 Januari 1946), satu pesawat  Cureng diterbangkan oleh Suyono untuk melakukan  tugas pengintaian di Laut Selatan.  Misi pengintaian  menggunakan pesawat Cureng itu atas perintah Agustinus Adisucipto.  Pesawat Cureng take off dari Pangkalan Udara Maguwo menuju Parangtritis, sampai jauh ke Selatan di atas Lautan Hindia. Dalam penerbangan itu, pesawat sempat masuk awan hitam tebal sehingga penerbanganya sampai kehilangan orientasi (disorientasi). Peristiwa ini pun dicatat sebagai operasi penerbangan pertama dalam rangka misi pertahanan di Indonesia merdeka.  Peristiwa itu diceritakan oleh penerbangnya pada Majalah Angkasa.

“Waktu itu tanggal 16 Djanuari 1946. Aku terpaksa masuk dalam awan jang gelap.  Satupun tidak ada lubang tjelah2 awan jang dapat memberi harapan kearah udara terang.  Kabut demikian tebalnja, hingga tidak sesuatupun jang tampak.   Sekilat teringat aku sedikit teori2 terbang buta, tetapi apa, aku tidak berpengalaman.
Kemudian terasa ….aku tak dapat meneruskan lagi.   Mata kupejamkan, sembahyang singkat dan memohon kepada illahi. 
Terbajang anak dan istriku, ketika pamitan tadi, disesal dengan teriakan ketakutan.  Aku djadi bingung, terdesak.  Ja, sjukur! Achirnya ingat dan sadar, bahwa harus berani hidup bila harapan masih ada.  Aku berusaha menenangkan semua instrument.  Untunglah gojangnya itu makin berkurang, tetapi tenang tidak.

Untuk mengambil djurusan tertentu tidaklah mungkin , karena dalam pesawat sangat gelap akibat awan tebal membeku. Sekonjong-konjong aku tersembul dari awan jang memajahkan itu.   Aku berada dalaam ketinggian 150 m. Hudjan mengutjur.  Tidak tahu entah dimana aku berada.
Aku berusaha pulang kepangkalan.  Check bensin tjukup untuk 20 menit.  Mendjumpai banjak gunung ketjil dan kali, akan tetapi aku tidak dapat mengenalnja.   Achirnja beruntung sebatang kali, sebagai ‘Reddend engel!’ dan dapat sadar tentang posisi hingga terus dapat menudju pulang.
Ketika turun dari atas landasan begitu pesawat  mendjedjakkan kakinja di tanah begitu pula segera mesin mati.  Sjukur! Sjukur! Aku kembali selamat. ….”

Sukses dengan fungsinya sebagai pesawat latih  melahirkan beberapa orang penerbang, pesawat  Cureng tercatat sebagai pesawat pertama yang digunakan dalam latihan terjun payung.  Latihan terjun payung pertama ini dilaksanakan tanggal 11 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo atas perintah Suryadi Suryadarma selaku kepala TKR jawatan Penerbangan.  Latihan terjun payung itu  menggunakan 3 pesawat Cureng yang masing-masing diterbangkan oleh A. Adisucipto, Iswahjudi, dan Makmur Suhodo.  Adapun para penerjunnya adalah Amir Hamzah, Legino dan Pungut.    Satu pesawat untuk satu penerjun.  Penerjunan ini merupakan peristiwa penting bagi TNI Angkatan Udara bahkan bagi TNI maupun bagi bangsa Indonesia bahwa  inilah awal dari munculnya pasukan para TNI.

Kalau dibandingkan dengan penerjunan saat ini yang menggunakan pesawat angkut seperti Hercules, Fokker, dan CN-235 maka sulit dibayangkan terjun dengan menggunakan pesawat kecil dua seat yakni  satu untuk penerbang dan satu untuk penerjun.  Penerjun duduk di belakang penerbang (pilot).  Setelah mencapai ketinggian yang telah ditentukan, secara perlahan dan hati-hati penerjun keluar dari cocpit dan berdiri di wing sambil berpegangan dan  mundur secara perlahan kearah belakang wing. Setelah ada perintah “go” dari pilot maka penerjun terjun.  Penerjunan pertama menggunakan pesawat cureng tersebut dinyatakan berhasil.  Latihan terjun payung yang pertama ini disaksikan oleh Panglima  Besar TKR Jenderal Sudirman dengan beberapa staf.

Pada tanggal 16 Maret 1946, sekali lagi H. Suyono  menerbangkan pesawat Cureng, kali ini bertolak dari Pangkalan Udara Bugis Malang menuju Utara untuk menyebarkan pamflet di atas kota Sidoarjo.  Dalam penerbangan itu ikut pula seorang montir pesawat, Sukarman
.
Selain melaksanakan latihan terbang solo, pesawat Cureng juga digunakan untuk latihan  terbang formasi  dan Cross Country (lintas daerah). Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat Cureng.  Penerbangnya antara lain  Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso, dan Wim Prayitno.   Cross country ini merupakan terbang formasi dan lintas daerah yang pertama dilakukan oleh penerbang-penerbang Indonesia.

Tanggal 12 Mei 1946 kembali pesawat Cureng diterbangkan ke arah Timur dan mendarat di Lapangan Sekip (Pamekasan).  Penerbangan yang dipiloti oleh  Opsir Udara II  Sujono dan OU III Wim Prajitno dengan misi  memperbaiki lapangan udara   tersebut sebagai persiapan guna penerbangan berikutnya.  Ikut serta dalam penerbangan itu dua orang montir pesawat yakni Naim dan  Dulatif.  Dalam penerbangan kembali  kedua pesawat terpaksa mendarat di Pangkalan Udara Bugis  Malang karena mengalami kerusakan  di bagian kaki rodanya.
Pada tanggal 21 Mei 1946 empat pesawat cureng mengudara menuju beberapa daerah di Jawa barat dan Jawa Timur. Dua pesawat Cureng menuju ke Serang Jawa barat.  Cureng pertama diterbangkan oleh  OU II Husein Sastranegara sebagai yang disertai H. Semaun dan pesawat kedua dipiloti oleh OU III Santoso disertai seorang penumpang bernama Soeharto.  Sebuah pesawat Cureng menuju ke Malang dengan penerbang OU III Sunarjo yang disertai seorang  penumpang Suparman. Sebuah pesawat terbang Cureng lainnya diterbangkan oleh OU II H. Sujono dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma dalam penerbangan kearah Timur untuk mencapai Pulau Madura dan mendarat di sebuah tempat pembuatan garam, karena belum adanya pangkalan udara yang siap untuk didarati. Setelah lima hari mengadakan perjalanan ,  pada tanggal 25 Mei 1946 keempat pesawat tersebut  kembali ke Maguwo dengan selamat.
Kemudian pada tanggal 10 Juni 1946, pada saat pembukaan Lanud Tjibereum Tasikmalaya diterbangkan 5 pesawat Cureng dari Maguwo dengan crew sebagai berikut :
-       Komodor A. Adisutjipto dan Husein Sastranegara
-       Komodor Muda Udara dr. Abdurachman Saleh dan Tulus Martoatmodjo.
-       Opsir Udara Sujono dan OMU Kaswan
-       Opsir Udara Wirjosaputro dan Opsir Udara Sunarjo.
-       Opsir Udara Iswahjudi dan Opsir Udara Suhodo.
Tanggal 8 Agustus 1946, sebuah pesawat Cureng diterbangkan dari PU Maguwo Yogyakarta ke PU Bugis Malang.  Adapun misi penerbangan yang dipiloti oleh Tugio adalah mengantarkan AS. Hananjuddin atas panggilan Divisi VIII Malang Imam Supeno.
Pada tanggal 2 September 946 salah satu pesawat Cureng kembali mengalami kecelakaan dan ini adalah kecelakaan kedua pesawat Cureng setelah kejadian pertama pada tanggal 14 Januari 1946.  Pesawat jatuh di Cipatujah (Tasikmalaya) sewaktu pesawat melakukan pendaratan darurat yang mengakibatkan gugurnya Opsir Udara II Tarsono Rudjito.   Opsir Udara II Tarsono merupakan korban pertama akibat kecelakaan pesawat militer di Indonesi Merdeka.   Dalam rangka tabur bunga atas meninggalnya Tarsono, pada tanggal 13 September 1946, sebuah pesawat Cureng yang lain diterbangkan untuk melaksanakan tabur bunga dari udara yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara.[11]
Pada tanggal 29 Juli 1947, digunakan untuk menyerang kedudukan musuh (Belanda) di kota Ambarawa dan Salatiga.  Pesawat Cureng diterbangkan oleh Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutardjo Sigit.   Pesawat Cureng juga digunakan  oleh Kadet Udara I Aryono untuk membom Purwodadi dalam rangka Penumpasan PKI atas permintaan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto.  Pada tahun 1948 saat meletusnya pemberontakan PKI Muso di Madiun pesawat ini digunakan untuk penyebaran pamflet, drooping obat-obatan dan logistik  bagi pasukan ABRI yang berada di daerah terpencil.

Curen dengan identitas merah putih berbentuk bulan dan nomor registrasi  62 serta TJ di ekor pesawat

Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam buah pesawat jenis Nishikoreng , Cukiu dan Cureng menuju pangkalan  Udara Cibeureum Tasikmalaya.  Kemudian melanjutkan  penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda Banten.  Di Gorda terpaksa sebuah pesawat Cureng ditinggalkan  karena mengalami kerusakan mesin.   Keesokan harinya dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung.  Kelima pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda.  Di Gorda ditinggalkan lagi sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin.   Dalam perjalanan pulang ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.
            Salah satu pesawat Cureng bersama pesawat  Cukiu dan Nishikoreng yang ada di Pangkalan Bugis Malang dikirim ke Pangkalan Udara Panasan.  Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan Pangkalan H. Sujono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14 orang tenaga teknik.    Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta Api.  Tiba  di Solo,  ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil diperbaiki pada bulan September 1946.  Namun belum ada kelanjutannya setelah perbaikan pesawat Cureng tersebut.


            Dalam menumpas pemberontakan PKI Muso pada bulan September 1948, pesawat Cureng mendapat tugas menyebarkan pamflet kepada masyarakat agar tidak mengikuti pemberontakan PKI dan mendukung pemerintah untuk membasminya.  Untuk mengabadikan dan mengenang kiprah pesawat cureng ini, pada  tahun 1977 salah satu pesawat ini diabadikan di Museum TNI Satria Mandala
.

MONUMEN PERJUANGAN TNI AU

Duka mendalam yang dialami oleh TNI AU memang sulit untuk dilupakan, apalagi bagi gugurnya personel yang merupakan tokoh dan perintis TNI AU, yang sumbangsihnya masih sangat dibutuhkan Negara dan TNI AU khususnya.  Oleh karena itu tempat jatuhnya pesawat VT-CLA yang menyebabkan gugurnya tiga tokoh dan perintis TNI AU Komodor Muda Udara A. Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo, yang terletak di dusun Ngoto, Desa Tamanan, Kabupaten Bantul Yogyakarta ini, dibangun sebuah monumen dengan nama Monumen Ngoto pada tanggal 1 Maret 1948.   

Monumen tersebut berbentuk Tugu dengan batang tubuh segi enam kerucut yang menopang diatas lapik segi empat bersusun dua mengecil.  Pada puncak tugu terpancang seekor burung Garuda merentang sayap.  Tugu ini berada dalam areal pagar yang bagian   belakangnya ada dinding bereliefkan peristiwa sejarahnya.  Lokasi monumen ini berada  kurang lebih 4 Km sebelah Selatan kota Yogyakarta.  

 

Setelah berjalan beberapa tahun memperingati Hari Bakti dengan acara ziarah ke Monumen Ngoto dan Makam para pahlawan TNI AU tersebut  yang berada di Pemakaman Umum Kuncen I dan Kuncen II, maka Pimpinan TNI AU Marsekal TNI Hanafi Asnan merencanakan di Monumen Ngoto tersebut juga dibuatkan sekalian tempat  pemakaman  kembali kerangka  jenazah para pahlawan tersebut.   Pemikiran ini disebabkan karena setiap tanggal 29 Juli, TNI AU selalu melaksanakan upacara militer di makam pahlawan nasional tersebut.   Namun karena sempitnya lokasi, tata upacara militer tidak dapat dilaksanakan dengan khidmat, sehingga mengurangi kemegahan dan kebesaran sebagai penghormatan kepada kedua tokoh sesuai dengan jasa pengabdian serta pengorbanannya.

 

Disamping itu, jalan raya yang ada di dekat makam apabila ditutup pada saat upacara akan mengganggu aktivitas masyarakat yang menggunakan jalan tersebut.

TNI AU kemudian menawarkan kepada pihak keluarga Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh untuk memindahkan makam kedua pahlawan nasional tersebut ke Taman Makam Pahlawan Semaki.  Namun pihak keluarga merasa keberatan apabila makam kedua tokoh tersebut dipisahkan dari istri-istri mereka masing-masing.  Akhirnya Kasau memberi jalan keluar untuk memindahkan jasad kedua pahlawan beserta istri masing-masing ke areal monumen, lokasi tempat jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA. Setelah diadakan peninjauan, lokasi tersebut disetujui oleh ahli waris kedua keluarga.

Pada awal tahun 2000, berdasarkan instruksi Kasau, monumen dipugar dan makam kedua pahlawan tersebut beserta istri masing-masing dipindahkan dari Kuncen I dan Kuncen II kedalam areal monumen.    Prosesi pemakaman kembali ini dilaksanakan dengan upacara militer pada tanggal 14 Juli 2000, sedangkan makam Adisumarmo tetap berada di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.   Berdasarkan  Surat Keputusan Kasau No. Skep /78/VII/2000 tanggal 17 Juli 2000, monumen tersebut diresmikan menjadi Monumen Perjuangan TNI AU, upacara peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 17 Juli 2000.   

Sejalan dengan pemindahan makam maka Monumen Ngoto juga direnovasi yang dilakukan terhadap seluruh bangunan serta dilengkapi fasilitas pendukung yang memadai.    Saat ini monumen memiliki luas 9473 m2. Dibagian utara terdapat sebuah tugu, areal makam dan relief peristiwa yang terjadi pada tanggal 29 Juli 1947 mulai dari saat operasi udara pertama yaitu misi pengemboman Salatiga, Semarang dan Ambarawa sampai peristiwa penembakan pesawat Dakota VT-CLA.   Tugu yang semula tingginya 4,5 m dinaikan menjadi 7m.   Patung burung garuda juga mengalami  perbaikan mulai dari bentuk sampai bahan yang terbuat dari tembaga.   Rentang sayap garuda dilebarkan menjadi 2 m.   Areal makam seluas 40m2 dilengkapi dengan cungkup, terletak di sebelah timur tugu.

 

Dibagian selatan di bangun pringgitan/pendopo dengan pajangan display photo berupa lempengan yang memuat informasi tentang peristiwa tanggal 29 Juli 1947.    Antara bagian selatan dan utara terdapat plaza dengan  sebuah ornamen mata angin, dibuat untuk keperluan upacara pada ziarah dan upacara lainnya.   Di bagian sebelah utara dilengkapi sebuah bangunan untuk tempat tinggal petugas penjaga monumen.   Sedangkan di bagian luar sebelah selatan selain dibuat areal parkir yang cukup luas, dilengkapi dengan ruang tunggu pengemudi dan toilet.

 

Masih di dalam lingkungan Monumen Perjuangan TNI AU ini, juga dipamerkan replika ekor pesawat Dakota VT-CLA.   Ekor pesawat ini merupakan bagian pesawat yang masih utuh, sedangkan bagian lainnya telah hancur berkeping-keping.

Maksud pemindahan makam dan pembangunan Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara tersebut, adalah sebagai berikut :

 

1. Merupakan upaya dan bentuk penghormatan dari generasi penerus TNI AU dalam menghargai jasa dan bakti serta pengorbanan para perintis dan pahlawan bangsa yang gugur untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. 

 

2. Untuk membangkitkan semangat juang, semangat mengabdi dan rela berkorban serta pantang menyerah dalam diri setiap prajurit TNI Angkatan Udara.

 

3. Mengangkat tokoh Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh sebagai panutan dan teladan.

 

4. Menjadikan Monumen Perjuangan TNI AU sebagai bukti sejarah bahwa TNI Angkatan Udara turut berperan aktif dan langsung dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan  Negara Republik Indonesia serta siap berkorban demi bangsa dan negara

.

MUSEUM PUSAT TNI AU DIRGANTARA MANDALA

Tonggak dasar dalam mendirikan museum di lingkungan TNI AU adalah  dengan dikeluarnya Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Udara Nomor : 491 Tanggal 6 Agustus 1960 tentang Dokumentasi, Sejarah dan Museum Angkatan Udara Republik Indonesia, namun realisasi bentuk museum belum berwujud secara nyata sehingga para pemimpin TNI AU memandang perlu adanya usaha untuk memajukan keberadaan museum dengan cara melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan. Upaya ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri/Panglima Angkatan Udara No. 2 Tahun 1967 tanggal 30 Juli 1967 tentang Peningkatan Kegiatan Bidang Sejarah, Budaya dan Museum Angkatan Udara. Sejak saat itu mulai ada titik terang dalam meletakkan rencana kerja bagi perkembangannya.

Pada tanggal 4 April 1969 diresmikan berdirinya Museum Pusat Angkatan Udara Republik Indonesia oleh Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Roesmin Nurjadin yang berlokasi di kawasan Markas Komando Wilayah Udara V (Makowilu) Jalan Tanah Abang Bukit Jakarta Pusat. Sebelumnya,  bertepatan dengan Hari Bakti TNI AU tanggal 29 Juli 1968 di Lembaga Pendidikan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Bagian Udara Yogyakarta yang saat ini bernama Akademi Angkatan Udara (AAU) telah diresmikan berdirinya Museum Pendidikan Karbol oleh Men/Pangau Laksdya Udara Roesmin Nurjadin. Upaya-upaya untuk mengintegrasikan kedua museum tersebut mulai dilakukan. Lokasi yang direncanakan adalah Yogyakarta, dengan dasar pertimbangan penentuan lokasi museum berada di Yogyakarta adalah sebagai berikut :
  • Pada tahun 1945-1949 Yogyakarta memegang peranan penting sebagai tempat lahir dan pusat perjuangan TNI Angkatan Udara.
  • Yogyakarta adalah tempat penggodokan Taruna-taruna Angkatan Udara(Karbol) sebagai calon  perwira TNI AU.
  • Perlu pemupukan semangat minat dirgantara, nilai-nilai 45 dan tradisi juang TNI AU yang mengacu  pada semangat Maguwo.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Kepala Staf TNI Angkatan Udara mengeluarkan keputusan No. Kep/11/IV/1978 tanggal 17 April 1978 yang menetapkan bahwa Museum Pusat AURI yang semula berkedudukan di Jakarta dipindahkan ke Yogyakarta, diintegrasikan dengan Museum Pendidikan/Museum Karbol menjadi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala dengan memanfaatkan bekas gedung Link Trainer yang berada di kawasan kesatrian AKABRI Bagian Udara. Operasi boyong perpindahan benda-benda koleksi museum dari Museum Pusat AURI di Jakarta ke Yogyakarta (AKABRI Bagian Udara) telah mulai sejak Nopember 1977. Penyempurnaan selanjutnya setelah pengintegrasian adalah keluarnya Keputusan Kasau Nomor : Skep/04/IV/1978 tanggal 17 April 1978, tentang pemberian nama Museum Pusat TNI AU ”Dirgantara Mandala”.  Hal ini dilaksanakan bersamaan dengan peresmian Museum Sekbang Pertama 1945 yang berlokasi di dekat Base Ops Lanud Adisutjipto.

Koleksi-koleksi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala terus berkembang terutama alutsista udara berupa pesawat terbang, sehingga gedung museum di Kesatrian  AKABRI Bagian Udara tidak dapat menampung. Pimpinan TNI AU memutuskan untuk memindahkan lagi, selanjutnya museum dipindahkan menempati gedung bekas pabrik gula di Wonocatur Lanud Adistujipto. Sebagai tanda dimulainya pembangunan/rehabilitasi gedung tersebut, maka pada tanggal 17 Desember 1982 Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi menandatangani sebuah prasasti. Hal ini diperkuat dengan  Surat Perintah Kepala Staf TNI AU No. Sprin/05/IV/1984 tanggal 11 April 1984 tentang rehabilitasi gedung bekas pabrik gula tersebut untuk dipersiapkan sebagai gedung permanen Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, yang kemudian diresmikan pada tanggal 29 Juli 1984 oleh Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Sukardi, dengan luas area museum seluruhnya + 8,2 Ha. Luas bangunan seluruhnya yang digunakan 8.765 M2. Tempat ini yang hingga sekarang dipergunakan sebagai museum dan telah dilakukan beberapa kali renovasi dalam rangka penyempurnaan sehingga menjadi tempat yang layak sebagai sebuah museum.
Sesuai perkembangan organisasi yang tertuang dalam Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur TNI AU yang dijabarkan dalam Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor : Kep/4/IV/2004 tanggal 1 Maret 2004 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Dinas Perawatan Personel Angkatan Udara, maka organisasi museum mengalami perubahan.  Dengan berlakunya keputusan kasau tersebut, maka Monumen Perjuangan TNI AU dan Museum Amerta Dirgantara Mandala menjadi bagian dari Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.

Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala yang berlokasi di Pangkalan Udara Adisutjipto, sejak tahun 2011 berada di bawah pembinaan Sub Dinas Sejarah (Subdisjarah), Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau), sesuai Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/21/III/2012 tanggal 30 Maret 2011 tentang Alih Kodal Museum Pusat Dirgantara dari Diswatpersau ke Dispenau dan Instruksi Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Ins/2/IV/2012 tanggal 8 April 2012 tentang Pelaksanaan Pengalihan Pembinaan Museum Pusat Dirgantara Mandala (Muspusdirla) dari Diswatpersau ke Dispenau, serta Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Perkasau/21/IV/2012 tanggal 8 April 2012 tentang Pengalihan Pembinaan Museum Pusat Dirgantara Mandala (Muspusdirla) dari Diswatpersau ke Dispenau, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Perkasau/167/XII/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Dispenau.


Letak Museum

Museum terletak di ujung Kabupaten Bantul perbatasan dengan Kabupaten Sleman dan tepatnya berada dikomplek Pangkalan Udara TNI AU Adisutjipto Yogyakarta, tidak jauh dari jalan raya rute bus Yogyakarta Solo dengan cek point SD Angkasa. Jarak dari pusat kota kurang lebih 6 kilometer ke arah timur. Museum ini dapat dijangkau dengan sarana transportasi sebagai berikut :
  • Kendaraan pribadi dapat langsung ke lokasi museum dengan pintu masuk tepat di sebelah SD Angkasa Lanud Adisutjipto di tepi jalan raya rute Yogya-Solo.
  • Dari terminal bus Yogyakarta,  dapat menggunakan bus jurusan  Solo atau bus kota jalur 7 menuju museum dengan cek point SD Angkasa.
  • Dari stasiun Tugu Yogyakarta,  menggunakan bus kota ke terminal bus dan dilanjutkan menuju museum dengan cek point SD Angkasa seperti tersebut pada butir 2.
  • Dari Bandara Adisutjipto menuju museum kurang lebih 3 km, dapat  menggunakan taksi atau kendaraan umum/bus-colt menuju ke Yogya, dengan cek point SD Angkasa.
Tata Pameran Koleksi

Pameran museum merupakan suatu sistem penyajian koleksi atau suatu kegiatan teknis penataan koleksi pada suatu ruang pameran tetap maupun tidak tetap yang dapat diatur berdasarkan suatu sistem tertentu sehingga menjadi suatu kesatuan yang harmonis, komunikatif, informatif dan edukatif. Tujuan umum dari pameran ini adalah untuk memberikan informasi yang cukup tentang benda-benda koleksi kepada pengunjung. Tujuan utama dari tata pameran adalah bahwa pameran harus dapat berkomunikasi dengan publik pengunjungnya. Penyelenggaraan pameran harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, intelektual dan emosional dari publiknya.

Mengingat bahwa tidak semua koleksi yang mendukung bukti sejarah dipamerkan pada satu ruang, maka koleksi tersebut dikelompokkan pada beberapa ruang. Peristiwa yang memiliki bukti berupa gambar, divisualisasikan dalam bentuk diorama yang bersifat imajiner. Berbagai jenis koleksi berusaha untuk dikumpulkan, dirawat dan dipamerkan mulai dari pesawat terbang, pakaian, dan tanda pangkat, foto-foto, alat komunikasi, senjata, dan beberapa visualisasi peristiwa melalui diorama serta koleksi-koleksi lainnya. Koleksi yang telah terkumpul digelar dan dipamerkan di dalam museum, masing-masing ruangan memiliki nama sebagai berikut :
  • Ruang Utama, memuat koleksi lambang TNI-AU beserta jajarannya, Para Pahlawan Nasional dari TNI- AU, foto Kepala Staf TNI AU dan para tokoh penerima Bintang Swa Bhuwana Paksa, serta tanda-tanda kehormatan militer.
  • Ruang Kronologi, yang menggambarkan sejarah perjuangan dan perkembangan TNI-AU mulai dari Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945.
  • Ruang Seragam TNI AU, di ruangan ini memuat Berbagai seragam yang pernah digunakan TNI AU sejak tahun 1945 hingga saat ini.
  • Ruang Kotama dan Ruang Kasau, memuat koleksi dan benda-benda yang berkaitan denagan Kotama di ajaran TNI-AU, diantaranya; Korpaskhasau, Kodikau, AAU, Seskoau, Koharmatau, Koopsau, Kohanudnas dan perkembangan Sekolah Penerbang TNI Angkatan Udara serta barang-barang dan benda yang pernah dipakai oleh Para Mantan Kasau.
  • Ruang Alutsista, memuat koleksi alat utama system senjata udara yang pernah digunakan oleh TNI-AU dari tahun 1945 hingga tahun 1970-an berupa pesawat, radar, peluru kendali dan roket.
  • Ruang Diorama ,menampilkan perkembangan dan berbagai kegiatan TNI AU, serta SKSD Palapa .
  • Ruang Minat Dirgantara, memuat tentang lambang-lambang skadron udara dan jenis pesawat pendukungnya, Pesawat Starlite serta koleksi buku-buku terbitan TNI-AU.
Pada halaman gedung dipajang pesawat Tupolev TU-16 B KS, UF 1 Albatros, PBY-5A Catalina dan peluru kendali SA-75, pesawat A-4 Skayhawk dan Pesawat OV-10 Bronco yang merupakan koleksi pesawat terbaru dipajang di depan gedung museum pada bulan Januari 2011.

Dalam rangka melengkapi fasilitas museum sebagai sarana penunjang serta untuk lebih meningkatkan penanaman minat dirgantara pada generasi penerus, dibangun Mini Teater yang telah diresmikan oleh Kepala Staf Anagkatan Udara Marsekal TNI Imam Sufaat S. IP pada tanggal 27 Januari 2011.  Mini theater merupakan salah satu fasilitas teknologi informasi dan multi media untuk memberikan informasi kepada para pengunjung melalui pemutaran film tentang berbagai hal terkait kedirgantaraan. Mini Theater bertujuan untuk menampilkan tayangan sejarah secara lebih menghibur, mendidik, informatif, sehingga diharapkan dapat mendorong animo masyarakat mengunjungi museum.
Museum yang di buka setiap hari mulai pukul 08.30 s/d 15.00 tersebut memiliki berbagai pasilitas penunjang lain seperti tempat parkir yang luas dan nyaman, sarana ibadah, toko souvenir, dan kantin
.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More