Terbajang anak dan istriku, ketika pamitan tadi, disesal dengan teriakan ketakutan. Aku djadi bingung, terdesak. Ja, sjukur! Achirnya ingat dan sadar, bahwa harus berani hidup bila harapan masih ada. Aku berusaha menenangkan semua instrument. Untunglah gojangnya itu makin berkurang, tetapi tenang tidak.
Untuk mengambil djurusan tertentu tidaklah mungkin , karena dalam pesawat sangat gelap akibat awan tebal membeku. Sekonjong-konjong aku tersembul dari awan jang memajahkan itu. Aku berada dalaam ketinggian 150 m. Hudjan mengutjur. Tidak tahu entah dimana aku berada.
Aku berusaha pulang kepangkalan. Check bensin tjukup untuk 20 menit. Mendjumpai banjak gunung ketjil dan kali, akan tetapi aku tidak dapat mengenalnja. Achirnja beruntung sebatang kali, sebagai ‘Reddend engel!’ dan dapat sadar tentang posisi hingga terus dapat menudju pulang.
Ketika turun dari atas landasan begitu pesawat mendjedjakkan kakinja di tanah begitu pula segera mesin mati. Sjukur! Sjukur! Aku kembali selamat. ….”
Sukses dengan fungsinya sebagai pesawat latih melahirkan beberapa orang penerbang, pesawat Cureng tercatat sebagai pesawat pertama yang digunakan dalam latihan terjun payung. Latihan terjun payung pertama ini dilaksanakan tanggal 11 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo atas perintah Suryadi Suryadarma selaku kepala TKR jawatan Penerbangan. Latihan terjun payung itu menggunakan 3 pesawat Cureng yang masing-masing diterbangkan oleh A. Adisucipto, Iswahjudi, dan Makmur Suhodo. Adapun para penerjunnya adalah Amir Hamzah, Legino dan Pungut. Satu pesawat untuk satu penerjun. Penerjunan ini merupakan peristiwa penting bagi TNI Angkatan Udara bahkan bagi TNI maupun bagi bangsa Indonesia bahwa inilah awal dari munculnya pasukan para TNI.
Kalau dibandingkan dengan penerjunan saat ini yang menggunakan pesawat angkut seperti Hercules, Fokker, dan CN-235 maka sulit dibayangkan terjun dengan menggunakan pesawat kecil dua seat yakni satu untuk penerbang dan satu untuk penerjun. Penerjun duduk di belakang penerbang (pilot). Setelah mencapai ketinggian yang telah ditentukan, secara perlahan dan hati-hati penerjun keluar dari cocpit dan berdiri di wing sambil berpegangan dan mundur secara perlahan kearah belakang wing. Setelah ada perintah “go” dari pilot maka penerjun terjun. Penerjunan pertama menggunakan pesawat cureng tersebut dinyatakan berhasil. Latihan terjun payung yang pertama ini disaksikan oleh Panglima Besar TKR Jenderal Sudirman dengan beberapa staf.
Pada tanggal 16 Maret 1946, sekali lagi H. Suyono menerbangkan pesawat Cureng, kali ini bertolak dari Pangkalan Udara Bugis Malang menuju Utara untuk menyebarkan pamflet di atas kota Sidoarjo. Dalam penerbangan itu ikut pula seorang montir pesawat, Sukarman
.
Selain melaksanakan latihan terbang solo, pesawat Cureng juga digunakan untuk latihan terbang formasi dan Cross Country (lintas daerah). Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat Cureng. Penerbangnya antara lain Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso, dan Wim Prayitno. Cross country ini merupakan terbang formasi dan lintas daerah yang pertama dilakukan oleh penerbang-penerbang Indonesia.
Tanggal 12 Mei 1946 kembali pesawat Cureng diterbangkan ke arah Timur dan mendarat di Lapangan Sekip (Pamekasan). Penerbangan yang dipiloti oleh Opsir Udara II Sujono dan OU III Wim Prajitno dengan misi memperbaiki lapangan udara tersebut sebagai persiapan guna penerbangan berikutnya. Ikut serta dalam penerbangan itu dua orang montir pesawat yakni Naim dan Dulatif. Dalam penerbangan kembali kedua pesawat terpaksa mendarat di Pangkalan Udara Bugis Malang karena mengalami kerusakan di bagian kaki rodanya.
Pada tanggal 21 Mei 1946 empat pesawat cureng mengudara menuju beberapa daerah di Jawa barat dan Jawa Timur. Dua pesawat Cureng menuju ke Serang Jawa barat. Cureng pertama diterbangkan oleh OU II Husein Sastranegara sebagai yang disertai H. Semaun dan pesawat kedua dipiloti oleh OU III Santoso disertai seorang penumpang bernama Soeharto. Sebuah pesawat Cureng menuju ke Malang dengan penerbang OU III Sunarjo yang disertai seorang penumpang Suparman. Sebuah pesawat terbang Cureng lainnya diterbangkan oleh OU II H. Sujono dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma dalam penerbangan kearah Timur untuk mencapai Pulau Madura dan mendarat di sebuah tempat pembuatan garam, karena belum adanya pangkalan udara yang siap untuk didarati. Setelah lima hari mengadakan perjalanan , pada tanggal 25 Mei 1946 keempat pesawat tersebut kembali ke Maguwo dengan selamat.
Kemudian pada tanggal 10 Juni 1946, pada saat pembukaan Lanud Tjibereum Tasikmalaya diterbangkan 5 pesawat Cureng dari Maguwo dengan crew sebagai berikut :
- Komodor A. Adisutjipto dan Husein Sastranegara
- Komodor Muda Udara dr. Abdurachman Saleh dan Tulus Martoatmodjo.
- Opsir Udara Sujono dan OMU Kaswan
- Opsir Udara Wirjosaputro dan Opsir Udara Sunarjo.
- Opsir Udara Iswahjudi dan Opsir Udara Suhodo.
Tanggal 8 Agustus 1946, sebuah pesawat Cureng diterbangkan dari PU Maguwo Yogyakarta ke PU Bugis Malang. Adapun misi penerbangan yang dipiloti oleh Tugio adalah mengantarkan AS. Hananjuddin atas panggilan Divisi VIII Malang Imam Supeno.
Pada tanggal 2 September 946 salah satu pesawat Cureng kembali mengalami kecelakaan dan ini adalah kecelakaan kedua pesawat Cureng setelah kejadian pertama pada tanggal 14 Januari 1946. Pesawat jatuh di Cipatujah (Tasikmalaya) sewaktu pesawat melakukan pendaratan darurat yang mengakibatkan gugurnya Opsir Udara II Tarsono Rudjito. Opsir Udara II Tarsono merupakan korban pertama akibat kecelakaan pesawat militer di Indonesi Merdeka. Dalam rangka tabur bunga atas meninggalnya Tarsono, pada tanggal 13 September 1946, sebuah pesawat Cureng yang lain diterbangkan untuk melaksanakan tabur bunga dari udara yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara.[11]
Pada tanggal 29 Juli 1947, digunakan untuk menyerang kedudukan musuh (Belanda) di kota Ambarawa dan Salatiga. Pesawat Cureng diterbangkan oleh Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutardjo Sigit. Pesawat Cureng juga digunakan oleh Kadet Udara I Aryono untuk membom Purwodadi dalam rangka Penumpasan PKI atas permintaan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto. Pada tahun 1948 saat meletusnya pemberontakan PKI Muso di Madiun pesawat ini digunakan untuk penyebaran pamflet, drooping obat-obatan dan logistik bagi pasukan ABRI yang berada di daerah terpencil.
Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam buah pesawat jenis Nishikoreng , Cukiu dan Cureng menuju pangkalan Udara Cibeureum Tasikmalaya. Kemudian melanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda Banten. Di Gorda terpaksa sebuah pesawat Cureng ditinggalkan karena mengalami kerusakan mesin. Keesokan harinya dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung. Kelima pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda. Di Gorda ditinggalkan lagi sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin. Dalam perjalanan pulang ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.
Salah satu pesawat Cureng bersama pesawat Cukiu dan Nishikoreng yang ada di Pangkalan Bugis Malang dikirim ke Pangkalan Udara Panasan. Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan Pangkalan H. Sujono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14 orang tenaga teknik. Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta Api. Tiba di Solo, ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil diperbaiki pada bulan September 1946. Namun belum ada kelanjutannya setelah perbaikan pesawat Cureng tersebut.
.